PURBALINGGA – Ada pelajaran berharga yang didapat para pelaku desa wisata di Purbalingga. Ketergantungan akan bantuan dana dari pemerintah ternyata tidak menjadi kunci utama keberhasilan pengembangan sebuah desa wisata. Justru tanpa dukungan dana pemerintah, pelaku desa wisata tergerak dan termotivasi untuk ‘menjual’ desanya sebagai tempat wisata. Pelajaran lain yan didapat adalah menggerakan potensi wisata yang ada dengan didasari kekompakan dan semangat yang kuat untuk menciptakan lapangan kerja bagi para warga.
Pelajaran itu didapat para pelaku desa wisata di Purbalingga saat melakukan kunjungan studi komparasi di Desa Selasari, Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran (Jabar), Senin – Selasa (15 – 16/6). Kunjungan itu diikuti 30 pelaku desa wisata yang difasilitasi Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga (Dinbudparpora) Purbalingga. Selama studi komparasi, para pelaku desa wisata berdiskusi dengan pengelola wisata di Desa Selasari yang tergabung dalam Kompepar (Komunitas Masyarakat Penggerak Pariwisata), dan mencoba berbagai atraksi wisata. Atraksi wisata sebagai daya tarik di Desa Selasari seperti tari Ronggeng Gunung, seni Angklung, telusur lima goa, dan body rafting Sungai Santirah.
“Terus terang kami banyak belajar tentang manajemen pengelolaan desa wisata di Desa Selasari. Di desa tersebut, kemandirian menjadi hal utama. Mereka tidak bergantung bantuan dana dari pemerintah atau pihak lain. Bahkan untuk memulai mengembangankan wisata di desanya, mereka harus hutang ke pihak kepala desa. Selain itu, kekompakan antar pengelola juga menjadi kunci keberhasilan dalam promosi wisata,” kata Kristian Aji Nugroho, Ketua Pokdarwis Lembah Asri, Desa Wisata Serang, Karangreja, Purbalingga.
Kepala Bidang Pariwisata Dinbudparpora Purbalingga, Ir Prayitno, M.Si yang memimpin rombongan tersebut mengungkapkan, pihaknya memilih Desa Selasari sebagai lokasi kunjungan, karena memiliki kemiripan potensi dengan sejumlah desa wisata di Purbalingga. Selain itu, Desa Selasari yang baru mengembangkan wisata tahun 2014 lalu, ternyata mampu menyedot pengunjungan yang lumayan banyak. Rata-rata dalam satu tahun bisa menyedot pengunjung sekitar 5.000 wisatawan.
“Jalan masuk ke lokasi desa saja rusak parah, namun wisatawan justru tertarik untuk mengunjunginya. Selain itu, Pemkab Pangandaran yang menjadi kabupaten baru selepas dari Kabupaten Ciamis, belum membantu apapun untuk pengembangan wisata di Desa Selasari. Kemandirian pengelola dan kekompakan inilah yang membuat kami tertarik untuk mempelajarinya,” kata Prayitno.
Pendiri desa wisata Selasari, Abah Unang (50) mengungkapkan, berdirinya wisata di Desa Selasari berawal dari keprihatinan kerusakan alam dan banyaknya pemuda yang menganggur. Warga semula kebanyakan bekerja sebagai pemburu babi hutan. Selain itu juga ada pengambilan batu di bukit dan di sungai. “Dari rasa keprihatinan itu, dan tergerak untuk membuka lapangan pekerjaan bagi pemuda desa, maka melalui diskusi dan survei lapangan sekitar tiga bulan, akhirnya kami memutusakan untuk mengembangkan wisata di desa kami,” tutur Abah Unang yang juga berprofesi sebagai guru olah raga di SD Cijulang Pangandaran.
Ugas (47), ketua Karang Taruna Desa Selasari mengungkapkan, saat awal berdirinya desa wisata, banyak yang menentang. Banyak warga yang tidak yakin akan bisa berkembang. Selain itu juga ada gejolak dari desa tetangga karena lokasi titik akhir wisata Santirah ada di desa tetangganya, Desa Cintaratu. “Ibaratnya, pemuda Desa Selasari dan Cintaratu, dulu tidak pernah akur, namun dengan munculnya desa wisata, dan ada pembagian hasil, maka kini sudah hidup rukun dan bahkan saling mendukung,” tutur Ugas.
Sementara Asep, pengelola desa wisata Selasari mengungkapkan, model promosi yang dikembangkan melalui berbagai cara. Promosi dari mulut ke mulut, pendekatan ke kalangan guru, ke HPI (Himpunan Pramuwisata Indonesia) Pangandaran, PHRI (Persatuan Hotel Republik Indonesia) Pangandaran, melalui media sosial, media televisi dan media cetak semua digerakkan. “Anak-anak kami yang memiliki facebook atau media sosial lainnya, setiap sore diwajibkan memasarkan desa wisata Selasari. Mereka sebisa mungkin mengundang teman-temannya untuk datang dan menikmati Selasari,” tutur Asep.
Asep menambahkan, agar wisatawan tidak kecewa, maka wisatawan mendapat pelayanan yang baik. Satu orang pun yang datang akan dilayani dengan baik. “Prinsip kami, jangan membuat tamu kecewa, dan jangan ada kesan buruk setelah mereka datang ke desa kami,” tambah Asep.
Abah Unang menambahkan, pihaknya juga menanamkan kepada pengelola untuk tidak menghitung profit terlebih dahulu. Setiap pemandu dengan bayaran Rp 200 ribu per bulan juga harus tetap melayani dengan baik. Pengelola juga harus berbagi pendapatan dengan pihak desa, desa tetangga yang dilewati dan juga memberikan pendapatan kepada pemerintah. ��Prinsip kami tidak mau mengandalkan bantuan dari pemerintah. Kami terus berpromosi melalui jalinan pertemenan. Kami harus berbaik-baik dengan teman, harta kita yang paling berharga adalah teman kita,” ujarnya. (y)