PURBALINGGA, DINKOMINFO – Pengembangan Industri Kecil Menengah (IKM) khususnya rambut palsu terkendala pada pasokan bahan baku dan ketersediaan tenaga kerja. Rantai pasar bahan baku rambut sintesis tidak jelas asal usulnya. Sementara disisi lain, ketersediaan tenaga kerja terjadi perebutan antar pelaku usaha.
“Bahan baku rambut sintesis kami dapatkan dari pemasok. Kami tidak mampu menembus ke produsen bahan bahu secara langsung. Kami pernah menelusuri, bahan baku tersebut diproduksi di Tangerang dan kemudian di ekspor ke Korea, dan bahan baku itu dikirim lagi ke Indonesia,” kata Riyo Ubiyantoro, pemilik usaha bulu mata palsu Bilqis Eyelashes di Desa Penaruban, Kecamatan Kaligondang, Purbalingga, (9/5).
Riyo Ubiyantoro mengungkapkan hal tersebut saat menerima kunjungan Komisi B Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jateng. Rombongan yang dipimpin oleh wakil ketua Komisi B DPRD Jateng, Drs RM Yudhi Sancoyo, MM diterima Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Purbalingga Drs Sidik Purwanto dan sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait.
Diungkapkan Riyo, dengan mata rantai penjualan bahan baku, maka harga bahan baku menjadi mahal. Selain itu, pasokan juga tergantung dari semacam agen pemasok yang tidak diikuti perjanjian tertulis. “Harga bahan baku rambut sintesis per kilogram Rp 150 ribu, sementara kebutuhan kami per bulan rata-rata 10 kilogram. Pemasok bahan baku melalui semacam agen perseorangan, dan kami harus tergantung kepada mereka,” kata Riyo yang biasa dipanggil Yoyok.
Disisi lain, lanjut Riyo, ketersediaan tenaga kerja juga menjadi kendala. Para pekerja yang kebanyakan perempuan dari desa cenderung memilih kerja di perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) Korea. Mereka cenderung lebih memilih bekerja di pabrik besar dengan alasan gengsi. Sementara untuk bekerja di industri skala kecil atau di plasma rambut yang berada di desa cenderung kurang tertarik.
“Mereka lebih memilih bekerja di pabrik besar biar terkesan bergengsi, dan jarang yang memilih di pabrik kecil atau bahkan plasma rambut di desa. Meski dengan penghasilan sama, mereka cenderung memilih bekerja di kota,” kata Riyo yang memiliki karyawan 40 orang.
Wakil Ketua Komisi B DPRD Jateng, Yudhi Sancoyo mengaku prihatin dengan kondisi pasokan bahan baku yang memiliki rantai pemasaran cukup panjang. Kondisi ini membuat harga bahan baku menjadi tinggi. Semestinya, jika harga bahan baku lebih rendah, maka keuntungan yang didapat perusahaan bisa untuk menaikan upah pekerja atau kesejahteraan pekerja. “Dengan kondisi ini, Pemerintah harus hadir untuk ikut mengatasinya. Kami akan mengkoordinasikan dengan Dinas perindustrian provinsi Jateng dan juga ke Kementerian Perindustrian,” kata Yudi Sancoyo.
Yudhi mengakui, kendala bahan baku juga dialami beberapa industri skala kecil di Jateng. Seperti industri logam dan pewarna batik. “Pemasok bahan baku sepertinya ada monopoli, dan pelaku usaha dibuat seperti ketergantungan. Pemerintah sudah saatnya hadir untuk mengatasi monopoli pasokan bahan baku ini,” kata Yudi Sancoyo yang juga mantan Bupati Blora 2007 – 2010 ini.
Sementara itu Kepala Dinperindag Kabupaten Purbalingga Drs Sidik Purwanto mengatakan, industri rambut palsu di Purbalingga ada 21 PMA asal Korea Selatan yang menyerap tenaga kerja sekitar 47 ribu orang, sedang plasma rambu palsu yang berada di desa-desa ada sekitar 251 buah dengan serapan tenaga kerja 13 ribu orang. Produk yang dihasilkan berupa wig dan bulu mata palsu. Pasaran produk industri rambut palsu ke Eropa, Amerika, Asia serta pasaran dalam negeri. Khusus untuk IKM Bilqis Eyelashes pasaran dominan di dalam negeri dan merambah hingga ke Pulau Batam dengan total produksi sebanyak 748.000 pieces dengan ratusan model bulu mata palsu.
“Secara kualitas, produksi Bilqis Eyelashes memenuhi standar ekspor ke negara-negara Eropa, hanya saja pemilik usaha cenderung memasarkan ke pasar dalam negeri. Pernah juga menjajaki pemasaran ke Brasil, namun karena pasaran kurang menguntungkan, maka tidak dilanjutkan,” kata Sidik. (yit)