PURBALINGGA – Malam Penganugerahan Festival Film Purbalingga (FFP) 2018 ini digelar pada Sabtu malam (4/8) di Alun-Alun Purbalingga. Plt Bupati Purbalingga Dyah Hayuning Pratiwi SE BEcon (Tiwi) turut menghadiri dan mengapresiasi penyelenggaran ini.
Pada kesempatan ini, Plt Bupati Tiwi dalam sambutannya menyampaikan terimakasih kepada seluruh penggagas FFP 2018 ini. Ia berharap agar perfilman di tataran lokal Purbalingga maupun sekitarnya semakin menunjukan pesan-pesan moral yang menyentuh dan mengedukasi masyarakat sebagai penonton.
“Saya berharap dengan FFP ini, film tidak hanya tontonan tapi juga bagaimana bisa jadi tuntunan yang menginspirasi warga masyarakat agar lebih cerdas dan bermoral kebajikan. Mudah mudahan kegiatan ini bisa jadi spirit bagi pegiat-pegiat film bagi sineas sineas muda, khsuusnya bagaiamana bisa terus berkarya, berkreasi, berinovasi menghasilkan karya perfilman yang lebih baik lagi dari tahun ke tahun,” katanya.
Menurutnya, film Indonesia beberapa tahun belakangan, cukup mendapatkan tempat di hati rakyat. Sehingga film lokal semakin kualitas, baik dari segi cerita grafis maupun sinematografi. Hal ini juga terjadi di Purbalingga, terbukti semakin banyak anak muda khususnya sineas pelajar sehingga tidak jarang khsusunya Purbalingga bisa mendapatkan prestasi di tingkat nasional.
Plt Bupati Tiwi mengungkapkan dirinya berkomitmen untuk mendukung kegiatan perfilman termasuk seni dan budaya di Purbalingga. Terkait dengan gedung kesenian, saat ini Pemkab Purbalingga masih menunda pembangunannya, atau masih mempergunakan gedung kesenian yang lama (GOR Mahesa Jenar) untuk mendunkung kegiatan seni budaya.
“Pembangunan gedung kesenian ini, memang sedang kami sesuaikan dengan kebutuhan anggaran. Oleh karena itu, kami mohon doa restu dari para pecinta film/sineas muda agar Purbalingga pendapatan daerah bisa meningkat sehingga nantinya gedung kesenian bisa segera terealisasi,” katanya.
Film Berlatar Tragedi ’65 Kembali Berjaya di FFP 2018
Film-film pendek pelajar berlatar korban tragedi kemanusiaan tahun 1965 kembali mengulang kejayaan dua tahun silam pada Festival Film Purbalingga (FFP) 2018 ini. Pada malam Penganugerahan Film Fiksi Terbaik disabet “Melawan Arus” sutradara Eka Saputri produksi SMK Negeri 1 Kebumen.
Film yang difasilitasi Pusat Pengembangan Perfilman (Pusbangfilm) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) itu berkisah sepasang suami istri yang mempertahankan hak atas tanah namun difitnah keturunan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Yono, sang suami, patah semangat untuk bertahan di tanah yang menjadi sengketa dengan aparat. Ia mengajak istrinya, Siti, pindah. Siti tetap kekeh dengan pendirian, tetap tinggal dan bercocok tanam. Film berdurasi 10 menit ini meriset konflik tanah di Urut Sewu, Kebumen.
Menurut salah satu juri fiksi, Teguh Trianton, film “Melawan Arus” berhasil mengeksplorasi sisi-sisi psikologis penonton. “Film ini dapat menyisakan perenungan yang dalam dan menyisakan pertanyaan yang jawabannya dapat dicari di luar film,” terangnya selaku juri akademisi.
“Kami berharap film kami dapat menginspirasi penonton bagaimana keberanian masyarakat petani di Urut Sewu dalam mempertahankan hak atas tanah,” ujar sutradara Eka Saputri.
Film Dokumenter Terbaik diraih “Sum” sutradara Firman Fajar Wiguna produksi SMA Negeri 2 Purbalingga. Film berdurasi 15 menit ini bercerita tentang perempuan bernama Suminah bekas aktivis Barisan Tani Indonesia (BTI). Setelah menghuni penjara selama 13 tahun, Sum hidup dalam kesendirian. Ia terus menunggu berbaliknya realita zaman.
Dalam catatan dewan juri dokumenter, film “Sum” tersusun melalui pilihan-pilihan gambar yang estetis dan rangkaian penuturan informasi yang jelas. “Sebagai upaya komunikasi visual, film ini memperkaya bahasa tentang sejarah nasional melalui perspektif akar rumput sekaligus korban yang berdampak oleh ekses pertarungan politik di tingkat nasional,” jelas Adrian Jonathan Pasaribu, salah satu juri.
Pada Film Fiksi Favorit Penonton dimenangkan film “Umbul-Umbul” sutradara Atik Alvianti produksi SMK HKTI 2 Purwareja Klampok Banjarnegara. Sementara Film Dokumenter Favorit Penonton berpihak pada “Warisan Tak Kasat Mata” sutradara Sekar Fazhari dari SMA Negeri Bukateja Purbalingga.
Untuk penghargaan Lintang Kemukus kategori maestro seni dan budaya Banyumas Raya dianugerahkan kepada R. Soetedja (1909-1960), seorang komposer asal Banyumas dan Grup Musik Kamuajo dianugerahi penghargaan Lintang Kemukus kategori seni dan budaya kontemporer.(Gn/Humas)