PURBALINGGA – Keberagaman atau pluralisme masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, ras, agama, budaya serta adat istiadat yang tergabung menjadi satu dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika bukan menjadi halangan untuk saling menghormati.
“Manusia lahir dalam keberagaman atau pluralisme. Dengan berbagai agama, suku serta perbedaan lainnya, oleh karena itu, mereka semua yang berbeda adalah saudara-saudara kita,”tutur Ny Shinta Nuriyah Abdurahman Wahid atau istri mendiang Presiden Gus Dur di Masjid Al-Huda Desa Toyareka Kecamatan Kemangkon Senin (13/6) pada acara Sahur Keliling Bersama Ny Shinta Abdurahman Wahid yang dihadiri Bupati Purbalingga Tasdi, Wakil Bupati Purbalingga Dyah Hayuning Pratiwi, pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kabupaten Purbalingga warga lintas etnis dan agama.
Dengan adanya keberagamannya atau pluralisme Indonesia, kata Shinta, mulai dari agama, bahasa, budaya, adat istiadat dan warna kulit juga perbedaan lainnnya, mendorong pihaknya mengadakan sahur bersama.
“Karena negara kita negara yang bhineka, yang terdiri dari berbagai agama, ada Islam, Kristen, Khatolik, Hindi, Budha dan Khonghucu serta Bahai. Ada suku Sunda, Madura, Bugis, Padang, dan lainnya, oleh karena perbedaan itu saya menyelenggarakan sahur bersama,”jelasnya.
Shinta menambahkan, bahwa mereka yang berbeda merupakan saudara, sehingga melalui bulan suci ramadhan, dirinya mengajak untuk meramaikan puasa dengan sahur bersama. Dengan kegiatan tersebut, diharapkan akan ada rasa saling membantu, menghormati serta mengulurkan tangan dari saudara-sauadara yang berbeda agar para pemeluk Islam menjalankan puasa dengan sebaik-baiknya.
“Oleh karena itu, saya sering bersahur bersama-sama di halaman gereja, kelenteng dan tempat lainnya, saya juga bersahur dimana saja , bahkan dibawah rintik hujan bersama pengamen dan bersama tukang becak,”jelasnya.
Shinta menuturkan, bahwa kegiatan yang sudah dilakukan sebanyak 16 kali setiap bulan ramadhan dengan menemui kaum dhuafa yang termarginalkan, untuk sahur bersama. Sahur bersama kaum dhuafa atau termarginalkan mengajak para pedagang di pasar, tukang becak, penderes, pemulung, pengamen serta profesi lainnya. Dengan sahur bersama, selain untuk silaturahmi dan mengingatkan saudara-sauadar yang beragama Islam atau masyarakat yang termarginalkan, juga untuk mengingatkan hakekat puasa yang sebenarnya. Karena hakekat atau makna puasa yang sebenarnya adalah pengendalian diri, disiplin serta tujuan agar manusia menjadi orang yang bertaqwa. Kebanyakan masyarakat menganggap puasa merupakan rutinitas tahunan yang harus dilakukan setiap tahun sekali tanpa mengerti makna dan hakekat yang sebenarnya.
“Sehingga banyak orang berpuasa hanya mendapatkan lapar dan dahaga, karena tidak paham makna dan hakekatnya. Namun pelajaran yang didapat dari puasa puasa adalah sabar, belas kasihan terhadap sesama serta keikhlasan,”ujarnya.
Bupati Purbalingga Tasdi mengatakan, bahwa, kehidupan, kebersamaan serta toleransi antar umat beragama di Purbalingga masih berjalan denga baik. Oleh karenanya, Purbalingga yang membuat visi Purbalingga yang mandiri berdaya saing menuju masyarakat yang sejahtera dan akhlakul kharimah. Sedangkan salah satu visinya adalah mendorong masyarakat Purbalingga yang religius beriman dan bertaqwa serta mengembangkan rasa kebangsaan untuk membangun rasa toleransi antar inter umat beragama sebagi modal dasar pembangunan di Kabupaten Purbalingga.
“Karena Purbalingga produknya pluralis juga, sehingga kehidupan yang pluralis, toleransi keagamaan kami butuhkan semuanya, mulai dari berbagai etnis, agama suku untuk membangun Purbalingga sebagai bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kehadiran Ibu Shinta juga untuk menambah semangat dalam rangka kedepan bagaimana meningkatkan kehidupan antar inter umat beragama supaya lebih kondusif lagi dalam rangka berkontribusi menegakan NKRI Bhineka Tungal Ika dan Pancasila,”katanya. (Sukiman)