PURBALINGGA – Prosesi pengambilan air di mata air  Tuk Sikopyah dengan 777 lodong air menandai dimulainya puncak acara Festival Gunung Slamet, Sabtu (28/9). Ribuan warga Desa wisata Serang, Kecamatan Karangreja, Purbalingga yang berbaur dengan wisatawan mengikuti prosesi itu. Lodong air terbuat dari bambu yang berisi 2-3 ruas mata bambu.

Selain membawa lodong bambu yang berisi air, warga juga membawa gunungan sayuran yang berisi wortel, tomat, kopis, kentang dan hasil pertanian lainnya. Tak hanya itu, berbagai miniatur binatang seperti burung dan sapi  berukuran besar juga dibawa oleh warga.

Sebelum pengambilan air, prosesi diawali dengan pembacaan doa di teras masjid Kaliurip diiringi salawat berlanggam Jawa dan musik rebana. Usai prosesi di masjid, rombongan warga kemudian berangkat menuju sumber mata air Sikopyah yang berjarak sekitar 2,5 kilometer menyusuri lereng Gunung Slamet.

Air tersebut diambil menggunakan 777 lodong atau wadah air dari bambu. Dalam iring-iringan warga, para wanita mengenakan kain warna hijau serta merah dan kaum pria memakai pakaian serba hitam disertai ikat kepala. Beberapa wanita tampak membawa sesaji, sapu lidi dan kendi.

Sesampainya di Tuk Sikopyah, sesepuh masyarakat memimpin doa yang dilanjutkan dengan pengambilan air untuk dimasukkan ke dalam lodong.

“Pengambilan air itu dipercaya menjadi upaya untuk mencegah wilayah yang ada di lereng Gunung Slamet dari musibah kekeringan dan paceklik,” kata Kepala Desa (Kades) Serang, Sugito.

Sugito mengatakan ritual itu dilakukan secara rutin setiap tahun. Namun, pada sejak tahun 2015 kegiatan ini dikemas dalam atraksi wisata Festival Gunung Slamet.

Usai pengambilan air, sesepuh masyarakat kembali membacakan doa sebelum rombongan berjalan menuju D’Las Serang untuk melakukan kirab. Air dalam lodong itu diterima oleh Bupati Dyah Hayuning Pratiwi, Sekda Wahyu Kontardi, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Ir Setiyadi, M.Si, serta tokoh masyarakat desa setempat. Air itu kemudian ditampung dalam satu wadah besar untuk selanjutnya dibagikan kepada warga serta wisatawan yang hadir.

Sugito mengatakan air dari Sikopyah merupakan air kehidupan bagi warga desa Serang, Kutabawa dan Siwarak. Bahkan dialirkan hingga wilayah kabupaten tetangga Pemalang. Mata air Sikopyah merupakan satu dari mata air terbesar di lereng timur Gunung Slamet. Yakni mata air panas Guci, mata air panas Baturaden dan mata air dingin Sikopyah di desa Serang.

“Dari cerita masyarakat, asal mula nama Sikopyah berasal dari legenda Haji Mustofa yang tinggal di padepokan dukuh Kaji milik Ndara Subali yang suka bertapa di mata air Sikopyah. Mata air itu merupakan tempat mandi dari Haji Mustofa,” jelasnya.

Nama Sikopyah sendiri, lanjut Sugito, berasal dari kata kopyah dalam bahasa jawa yang berarti peci atau ditempat lain ada yang menyebutnya songkok atau kupluk. Suatu saat, kopyah Haji Mustofa ketinggalan dan hilang di tempatnya bertapa. “Maka Haji Mustofa menamakan tempat tersebut sebagai mata air Si Kopyah,” tuturnya.

Secara turun temurun, masyarakat desa Serang dan sekitarnya menyakini air Sikopyah tersebut sebagai air kehidupan. Ada juga yang meyakini kalau air Sikopyah dapat meningkatkan derajat dan menyembuhkan penyakit kulit.

Bupati Tiwi mengatakan, prosesi pengambilan air dari mata air Sikopyah merupakan tradisi warga desa Serang yang harus dilestarikan. Karena merupakan bagian dari upaya konservasi lingkungan. “Simbol 777 dalam bahasa Jawa diartikan sebagaiPitulungan yang berarti, air itu membawa pertolongan kepada warga masyarakat Serang dan Purbalingga,” kata Bupati Tiwi. (y-Humas Setda Pbg)