PURBALINGGA – Jari jemari nenek Kastinah (67) yang tampak keriput dengan lincahnya memilah dan memasukan benang demi benang. Tangan yang sudah mulai lemah itu juga sesekali menggerakkan Cacag, bagian dari alat tenun tradisional.
Kastinah yang tinggal di RT 1/RW 1 Desa Tajug, Kecamatan Karangmoncol, Purbalingga, menjadi salah satu warga yang masih tekun membuat kain tenun Kluwung gendong. “Lare-lare saniki sampun mboten purun nenun. Milihe kerjo teng pabrik. Anak kulo kalihe nggih mboten purun nerusake niki. (anak-anak sekarang sudah tidak mau menenun. Semua pada memilih bekerja di pabrik. Anak saya duanya juga tidak mau meneruskan untuk menenun),” turur Kastinah, Kamis (12/3).
Kain tenun Kluwung gendong kini ibarat menjadi barang langka di Desa Tajug. Dulu hampir sebagian besar warganya bekerja menenun kain Kluwung. Seiring berjalannya waktu, kini hanya enam orang saja yang masih tekun sebagai perajin. Itupun hanya sebagai sambilan. Usia mereka rata-rata sudah tua.
“Paling kantun enem wong ingkang taksih nenun. Umure sampun sepuh sedoyo. Mboten enten lare-lare ingkang purun nerasaken (perajinnya tinggal enam orang. Usianya sudah tua semua. Tidak ada anak-anak yang mau meneruskan),” tutur Kastinah.
Kastinah mengaku tak mengetahui pasti mulai kapan perajin tenun Kluwung ada di Desa Tajug ada. Seingatnya, sudah sejak lama saat jaman neneknya. Semenjak dirinya lahir, sudah ada perajin kain tenun Kluwung di Desa Tajug. “Ceritane mbahe kulo, ingkang ndamel kain tenun Kluwung sampun wonten sejak jaman Landa. (ceritanya nenek saya, yang membuat kain tenun Kluwung sudah ada sejak jaman Belanda),” kisahnya.
Untuk membuat satu lembar kain tenun Kluwung ukuran 60 cm X 120 cm membutuhkan waktu seminggu. Pekerjaan itu dilakukan oleh Kastinah hanya sebagai sambilan. Tidak setiap hari penuh bekerja untuk menenun. “Seminggu saged rampung setunggal (Satu minggu bisa selesai Satu lembar kain,” tuturnya.
Harga satu lembar kain tenun Kluwung dijual Rp 200 ribu. Pembeli sudah ada yang siap ambil. Kadang permintaan banyak, tetapi hasil tenunan tidak ada. Pedagang yang ambil dari luar daera, kebanyakan dari Wonosobo.
Kepala Desa Tajug Kuswoyo mengungkapkan, kerajinan kain tenun Kluwung Gendong telah dimulai puluhan tahun silam, sejak Indonesia belum merdeka. Pada masa kolonial Belanda dan zaman penjajahan Jepang merupakan puncak kejayaan kain tenun khas Desa Tajug Karangmoncol, Purbalingga ini.
Awal mula proses produksi dan penentuan harga terjadi pada zaman Jepang. Melihat masyarakat masih menggunakan pakaian terbuat dari karung goni, warga desa Tajug kemudian mencetuskan pembuatan kain tenun kluwung sebagai baju. Ada juga yang menggunakan sebagai kain untuk menggendong dagangan atau menggendong anak kecil, sehingga disebut Kluwung gendong.
“Saat ini kami akui, kejayaan kain tenun Kluwung telah berlalu. Bahkan, kondisinya terancam lantaran perajinnya hanya tersisa sekitar 10 orang. Enam perajin masih aktif dan rutin menenun. Sedangkan lainnya hanya memproduksi ketika ada pesanan,” kata Kuswoyo.
Kuswoyo menambahkan, jumlah produksi maupun pemasaran sudah menurun mengikuti perkembangan zaman dan teknologi. “Biasanya untuk pasaran tertinggi adalah wilayah Bumiayu dan Wonosobo. Kain tenun Kluwung juga tidak lagi untuk pakaian atau baju, tetapi sebagai alat untuk menggendong,” tambahnya. (*)