PURBALINGGA, HUMAS – Mantan ibu negara Ny Dra Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid menilai negara saat ini sudah tidak mampu melindungi kaum minoritas. Aksi demo banyak terjadi dimana-mana, pembakaran dan penyegelan rumah ibadah. Tindakan anarkhis terhadap saudara-saudara kita kaum minoritas.
”Mereka kaum minoritas yang juga saudara kita mestinya ikut dilindungi, namun yang terjadi justru sebaliknya. Negara sudah mengalami krisis kebangsaan,” kata Sinta Nuriyah saat melakukan dialog multikultur dengan tema ’Puasa Sebagai Perisai Kemiskinan’ dan buka puasa bersama di Pendopo Dipokusumo Pemkab Purbalingga, Kamis (26/7).
Acara buka puasa itu dihadiri Bupati Heru Sudjatmoko, Wakil Bupati Sukento Ridho Marhaendrianto, tokoh agama dari Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan Budha, para Pedagang Kaki Lima (PKL), tukang becak, pengamen, pemuung dan tukang parkir serta kelompok marjinal lainnya.
Menurut Sinta Nuriyah yang juga ketua Yayasan Puan Amal Hayati, ketika negara kita dijajah Belanda, semua komponen masyarakat ikut berjuang merebut kemerdekaan. Masyarakat bersatu dengan semboyan ’hidup atau mati’. Setelah merdeka, tentu semuanya berhak atas negara Indonesia. Tetapi yang terjadi, sekarang banyak anarkhisme terhadap kelompok minoritas. Rakyat hampir setiap hari disuguhi tayangan yang membangkitkan semangat kebencian. Anak-anak anak diajarkan ajaran yang sempit yang membentuk sikat kebencian terhadap orang lain. Mereka menganggap orang lain musuh jika tidak sama dengan dirinya, dan boleh dilakukan tindakan apa saja.
”Banyak kelompok yang menganggap dirinya paling baik, paling dekat dengan Tuhan, paling suci, dan yang tidak sejalan dianggapnya kaum setan. Ini sungguh memprihatinkan,” kata Sinta Gus Dur.
Ny Sinta juga mengaku prihatin atas kondisi seperti ini. Kaum duafa hanya dihargai selembar uang Rp 20 ribu. Dengan uang sebanyak itu mereka diajak untuk merusak dan melakukan pembakaran rumah ibadah. ”Apakah harganya rakyat kita hanya Rp 20 ribu,” ujar Ny Sinta Gus Dur setengah bertanya.
Oleh karenanya, Ny Sinta Nuriyah mengajak kepada seluruh umat untuk hidup rukun, saling tolong menolong, saling menghormati dan saling menghargai. ”Inilah yang sejatinya juga menjadi hakekat puasa. Puasa mengajarkan tidak hanya menahan lapar dan nafsu, tetapi puasa mengajarkan nilai moral dan budi pekerti yg luhur. Jangan sampai puasanya hanya ritual tahunan yang jika bulannya saat berpuasa ya ikut puasa, tetapi tidak mengerti hakekat puasa yang sesungguhnya. Lalu apa hanya menggugurkan puasa saja.
”Banyak orng berpuasa hanya merasakan lapar dan dahaga, tapi tidak dapat pahala apa-apa. Banyak ajaran kejujuran, keadilan, keiklasan, tetapi yang diajarkan di masyarakat semua itu lewat. Karena puasa tidak dihayati dan tidak tahu maknanya,” kata Sinta Nuriyah. (Humas/y)