PURBALINGGA – Meski berprofesi utama sebagai tukang kayu, darah seni wayang ternyata mengalir ke tubuh Badriyanto (30) warga Dukuh Kemangunan, Desa Wlahar, Kecamatan Rembang, Purbalingga. Darah wayang suket mengalir dari sang kakek, Kasan Wikrama Tunut atau biasa dipanggilnya Eyang Gepuk.
Sosok Eyang Gepuk, namanya mulai mencuat ketika hasil karyanya wayang yang terbuat dari rumput Kasuran dipamerkan saat Perkemahan Wira Karya Nasional (PWN) yang dibuka presiden Soeharto ketika tahun 1990 di Desa Bantarbarang, Kecamatan Rembang. Karya-karya wayang yang dibuat Eyang Gepuk makin dikenal ketika oleh seorang tokoh seni dipamerkan di Yogyakarta sekitar tahun 1995. Dua tahun kemudian, Eyang Gepuk meninggal dunia. Tiga anak kandung Eyang Gepuk tidak ada yang mengikuti jejak membuat wayang rumput. Karya besarnya membuat wayang ternyata hanya diikuti oleh seorang cucunya, Badriyanto.
“Kakek saya punya cucu lima orang, seorang diantaranya meninggal dunia. Hanya saya saja yang tertarik belajar membuat wayang dari rumput Kasuran saat eyang masih hidup,” ujar Badriyanto yang ditemui di kediamannya Jalan Raya Kemangunan RT 02/RW 2 Wlahar, Kecamatan Rembang, kemarin.
Badriyanto mulai tertarik menekuni membuat wayang rumput sejak duduk di kelas 2 Madrasah Tsanawiyah Swasta (MTS) di Rembang. Setiap kali Eyangnya membuat wayang sambil angon kambing di ladang, ia mencobanya meniru.
“Sambil angon kambing, eyang menganyam rumput yang dibentuk tokoh wayang. Ia selalu berkisah tentang tokoh-tokoh pewayangan, persis sedang mendalang,” tutur Badriyanto mengenang. Eyang Gepuk hafal cerita-cerita pewayangan karena pada dirinya adalah seorang dalang wayang kulit karena itu dalam menganyam rumput tokoh pewayangan di luar kepala. “Kalau saya baru belajar memahami tokoh wayang, namun belum semuanya tahu,” ujar Badriyanto yang menggemari tokoh wayang Wisanggeni. Nama tokoh wayang inilah yang kemudian dijadikan ikon di kartu namanya ‘Wisanggeni, perajin wayang suket’.
Saat membuat sebuah tokoh wayang, Badriyanto berujar, awalnya harus melihat gambar tokoh wayang. Namun, kalau ada tokoh yang sudah pernah dilihat atau diingat dalam pikiran, Badriyanto mengaku dengan mudah membuat tokoh wayang itu. “Satu tokoh wayang, saya mampu merampungkan selama empat hari. Itupun harus kerja lemburm” ujar Badriyanto di rumah yang cukup sederhana ini.
Untuk membuat satu tokoh wayang, bapak dua orang anak bernama Rizal dan Deva ini, membutuhkan sekitar satu ikat rumput Kasuran atau setara dengan satu ons rumput kering. Bahan baku rumput kasuran memang hanya tumbuh disaat bulan Sura atau Suran, sehingga disebut sebagai ruput Kasuran. “Karena pesanan datang tidak mengenal waktu Suran, maka saya mencoba menanam rumput itu di kebun. Sekarang masih kecil-kecil,” ujarnya.
Soal pesanan, Badriyanto mengaku banyak datang dari Jakarta, Yogyakarta dan kota lain. Bahkan, belakangan ada pecinta seni dari Jerman dan Perancis yang memesan tokoh Pandawa Lima. “Mereka mungkin tahu lewat penggemar seni lain saat menyaksikan pameran wayang suket di Yogyakarta atau di Bali beberapa waktu lalu,” kata Badriyanto yang memilih tinggal di tempat asal istrinya di Desa Wlahar.
Untuk satu set tokoh Pandawa Lima, Badriyanto menjualnya seharga Rp 1,5 juta. Sedang untuk satu set tokoh Punokawan, Badriyanto menghargai R 1,7 juta. “Kalau ada yang pesatu satu atau dua tokoh wayang saja, harga satuannya Rp 350 ribu.
Seni wayang suket ternyata juga menarik bagi guru seni rupa SMA Negeri Rembang, Aminudin. Ketenaran Eyang Gepuk yang kepintarannya membuat wayang suket diturunkan kepada Badriyanto, akhirnya menginspirasinya untuk memasukan pelajaran seni wayang rumput ke mata pelajaran seni di sekolahnya. “Kami memanfaatkan potensi lokal disekitar sekolah, seperti ada kerajinan grabah, kerajinan batu dan wayang suket. Siswa-siswi, kami ajak untuk mengenalnya. Bahkan untuk wayang suket, telah kami buat dalam sebuah film,” kata Aminudin yang secara sengaja tengah mengantar bekas muridnya, Jajang yang kini kuliah di UNS Solo dan tengah mengambil skripsi tentang pembelajaran seni pada siswa termasuk seni wayang suket.
Aminudin mengungkapkan, rata-rata anak-anak masih awam dengan tokoh pewayangan. Keberadaan wayang suket juga tidak banyak dikenal mereka. “Kalau banyak orang luar berdatangan untuk memesan wayang suket dan melihat cara membuatnya, maka kami tidak ingin ketinggalan,” ujarnya. (Prayitno)
Ket foto : Badriyanto (30), cucu Eyang Gepuk yang menekuni seni membuat wayang suket dari rumput Kasuran. (Foto : Prayitno)